Kamis, 20 Juni 2019

Cinta Terhalang Cinta



 Apakah kau ingat? Saat kita duduk berdua menghabiskan sore hingga malam bersama di salah satu kafe yang terletak  di  tengah kota pematangsiantar.  Senja jingga berubah menjadi gelap malam, tapi tidak gulita. Sinar bulan dan bintang bersinar terang malam itu. Lampu-lampu kafe juga menyala indah memberikan suasana ketenangan di antara kita berdua.
Tentang kenangan hari itu, aku masih ingat. Kenangan itu masih lekat teringat dalam ingatanku. Bahkan terkadang aku merasa kenangan itu baru kemarin terjadi. Terlalu mengada-ada, bukan?
Saat itu, kau memesan coklat panas pada pelayan kafe. Ketidak tahuanmu tentang kopi membuatmu enggan memesan deretan menu minuman yang mengandung biji kopi asli. Kau memilih menu yang tak asing di lidahmu. Dan coklat panas menjadi pilihanmu hari itu. Sedangkan aku, yang sedikit banyaknya baru tau tentang kopi, memesan segelas kopi tanpa gula, untuk membuat tubuhku rileks dari lelahnya  hari itu.
Aku benar-benar senang. Aku senang bisa menghabiskan waktu berdua bersamamu. Di mana kita berdua saling bicara, saling cerita, saling bercanda dan tertawa bersama-sama. Apa yang kita bicarakan malam itu begitu banyak macamnya. Mulai dari percakapan sederhana hingga percakapan yang berat tentang masa depan kita berdua.
Bukan, bukan masa depan sebagaimana dua insan berbeda jenis menjalin hubungan. Tapi lebih pada bagaimana kita berdua berkolaborasi dengan latar belakang yang kita miliki untuk menciptakan sesuatu yang nantinya akan membantu banyak orang.
Saat kita berbincang dengan topik ini pertama kali, responmu benar-benar baik dan sangat antusias dengan ide yang aku bicarakan padamu. Tapi malam itu adalah malam keraguanmu dengan ide yang akan kita realisasikan bersama. Kau ragu karena kekasihmu itu tak memberi restu untuk kita bersama-sama merealisasikannya. Kau mengaku, kekasihmu sepertinya cemburu.
Hubungan kita benar-benar rumit, bukan?
Ya, aku tak begitu senang sebetulnya. Kau tau kenapa? karena aku memiliki rasa padamu. Memang, usiamu lebih tua daripada aku, tapi hanya karena usia yang berbeda bukan berarti menghambat cinta yang tumbuh tanpa dipinta, bukan? Aku jatuh cinta padamu bukan karena aku pengidap odipus complex. Aku jatuh cinta padamu karena aku merasa nyaman denganmu. Rasa nyaman itu bukan nyaman seperti seorang anak pada ibunya, tapi, rasa nyaman sebagaimana seorang laki-laki membutuhkan penyemangat agar dirinya terus hidup. Kenyamanan yang menimbulkan semangat dan alasan untuk terus bertarung dengan dunia hingga nantinya masa berlaku jasad kita telah habis tiba.
Sore jingga berubah menjadi gelap malam. Orang-orang disekitar mulai berganti. Tempat itu tetap ramai dan penuh, tidak sepi.
Aku tak memperdulikan siapa yang menatap kita dari kejauhan. Yang aku perdulikan malam itu, dirimu. Ini adalah kesempatan yang langka, yang bisa saja di lain waktu aku takkan mungkin mendapatkannya lagi. Dan aku takkan sia-siakan kesempatan ini. Aku selalu menginginkan kita berbincang berdua di sebuah kafe.
Kau tau, kafe yang kita kunjungi hari itu adalah kafe langgananku. Tempat aku mencari ketenangan dan kebahagiaan seorang diri. Tempat aku menghilangkan rasa lelah dari aktifitas yang meletihkan jasad dan hati. Aku sering menghabiskan malam seorang diri di sana. Dan kau, adalah wanita pertama yang aku ajak berbincang menghabiskan malam berdua di sana.
Kau senang? menjadi wanita pertama yang aku ajak kencan di kafe itu?
Aku rasa tidak. Karena aku sadar diri, aku bukan siapa-siapa bagimu. Aku hanya sebatas adik kecil lugu yang tak tau apa-apa tentang dunia. Bukan kah kau menganggapku begitu?
Malam itu, aku merasa senang luar biasa.
Aku memandangmu dengan penuh cinta, sedangkan dirimu memandangku biasa saja. Hatiku dan pikiranku telah dipenuhi olehmu, dan kamu tidak pernah atau mungkin belum menyadari hal itu.
Tapi, malam itu kau sempat berkata, terkait kolaborasi yang akan kita realisasikan bersama, “Jangan bawa perasaan saat kita berkolaborasi nanti”.  Itu kau ucapkan saat ragumu hilang. Kau akan bertarung opini dengan kekasihmu untuk memenangkan dan melancarkan kolaborasi kita. Malam itu, aku hanya mengangguk. Kau tau, anggukan itu tidak mengandung arti apa-apa. Anggukan itu bukan berarti iya, anggukan itu hanya sekedar gerakan kepalaku yang membutuhkan gerak agar tak kaku.
Aku sudah punya rasa padamu.