Dimana Letak Surga
“SURGA
BERADA DIBAWAH TELAPAK KAKI IBU”
Ingatannya hanya melayang pada
kalimat yang digoreskan oleh kapur putih di bagian atas papan tulis
hijau. Kasogi hitam dengan size 29 menjadi alas kedua kakinya yang
terbungkus kaos kaki putih setengah lutut. Matanya memandang
kerikil-kerikil kecil diatas jalanan beraspal yang sudah mulai rusak.
Segala pertanyaan lahir tak dapat diungkap lewat bibir kecilnya, namun
tertanam dalam otak besarnya.
*
“Nik, besok ninik aja ya
yang ambil raportku” lelaki kecil bercelana pendek dengan kaos naruto
berdiri tepat dibelakang seorang wanita yang sedang mengiris
potongan-potongan bawang
“Bukannya ninik nda mau yo, tapi ibumu
juga ingin ngeliat sekolahmu, ketemu guru-gurumu. Dia juga pengen tau,
nakal ga kamu di sekolah” jawabnya sambil memasukan irisan-irisan
tersebut kedalam wadah suatu wajan.
“Tapi aku kan ga nakal nik
disekolah. Aku janji deh, kalo besok ninik mau ambilin rapot aku ntar
aku makan ini yang banyak” tangan kecilnya mengangkat wortel mentah
yang lebih panjang dua kali lipat dari jarinya.
“Ya Ampun yo…,
emang apa masalahnya kalau ibumu yang ambil? Apa bedanya sama ninik?”
“Beda
nik. Kalo Ibu yang ambil, aryo bakalan diledekin temen-temen terus
nanti disekolah!”
Wanita berusia 58 itu akhirnya menghentikan
segala kegiatannya sejenak.
“Aryo, kamu tidak seharusnya malu dengan
keadaan Ibumu. Ibumu itu adalah perempuan hebat, justru seharusnya kamu
bangga padanya nak”
“POKOKNYA KALO IBU YANG AMBIL RAPOT, ARYO GA
AKAN MAU SEKOLAH LAGI!!”
sekarang bocah kecil itu berlari setelah
memberikan alasan yang menurut pikirannya sangat kuat dan tak
terbantahkan. Hatinya memekik, dan ternyata ledakannya terdengar oleh
sosok wanita disudut ruangan yang hatinya terkoyak-koyak.
“Sudahlah
bu, biar ibu saja yang mengambil rapot Aryo besok. Saya mengerti ko”
*
Suara
yang melantunkan lafaz-lafaz suci Al-quran berkumandang dari bangunan
tempat biasa umat muslim bersembahyang. Seorang pria cilik berbalut
sarung mencari sandal jepitnya yang berwarna biru, kerutan terlukis
dari dahinya. Sesekali jemari mungil itu menggaruk-garuk kepala
sehingga peci putih yang membungkus setengah kepalanya hampir meluncur
turun.
“Sedang mencari apa Aryo?”
“Sendalku di curi orang pak
Ustaaadzz” jawabnya gusar, sarung otak-kotak biru yang melintasi bahu
kirinya dipegang kuat-kuat.
“Loh, itu bukannya sendalmu?” pria 55
tahun ini menunjuk sepasang sandal yang tertimbun sandal-sendal lain
yang berserakan. Namun torehan spidol biru berlafaz “ARYO” mengukuhkan
kalau sandal swallow biru mungil itu adalah milik bocah kecil yang
sedang menggerutu.
“Eh iya…, hehehe. Tadi aku ga liat Pak Usradz”
jawabnya cecengesan, deretan gigi putih yang masih bercampur dengan
gigi susu pun hadir setelah pintu bibir mungilnya terbuka lebar.
“Sebelum
membuat suatu prasangka pada orang lain, cobalah untuk melihat ke
dalam diri sendiri. Jangan sampai kelalaian yang tidak kita sadari
justru berbuah pikiran buruk untuk orang lain.”
Anak itu
terdiam…memikirkan kembali perkataan yang baru saja menggema di
telinganya. Dan saat dia kembali dari perenungannya selama beberapa
detik, sosok pria berbaju koko putih tampak sudah berjalan beberapa
langkah didepannya.
“Pak Ustaaaaadd…..Pak
Ustaaaaaaadd…..sebentar…”
Aryo menggerakan kakinya lebih cepat dengan
setengah berteriak.
“Ada apalagi nak?”
“Engga Pak Ustad,
aku mau nanya satuuu lagi. Boleh kan pak Ustad?” katanya setengah
merajuk sambul mengacungkan telunjuk
“Hahaha…, tentu boleh nak.
Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Apa benar Surga itu ada di telapak
kaki Ibu?”
Lelaki tua bersarung kotak-kotak itu kini menurunkan
posisi badannya agar sejajar dengan ustad kecil di hadapannya.
“Nak,
saat seorang sahabat Rasul bertanya : Siapakah orang yang harus aku
cintai di dunia ini? Rosulpun menjawab : Yang pertama adalah ibumu” dan
laki-laki itu menghentikan sejenak kalimatnya.
“Lalu yang kedua
siapa lagi Pak Ustad?” bocah ini nampak tak sabar dengan jawaban pria
yang mengajarnya mengaji di setiah hari Jum’at malam.
“Ibumu”
“Ibu?
Lalu yang ketiga?”
“Masih Ibumu nak”
Anak itu terdiam
menunduk. Membayangkan wanita yang melahirkannya. Dia merasa tidak
mengenal dengan baik sosok itu. Belum hilang dari ingatannya dimana dia
tumbuh hingga usia 9 tahun tanpa melihat seorang Ibu. Manusia yang
teramat dia damba namun ternyata kedatangannya justru membuat ia
menjadi bahan olokan anak-anak sebayanya.
Sepasang tangan kini
memegang pundaknya..” nah, yang ke empat…baru Ayahmu. Maka jangan
pernah ragu akan keberadaan surga pada Ibumu nak”
Laki-laki tua
itupun berlalu menginggalkannya. Meninggalkan sisa pertanyaan yang
belum sempat terlontar dari bibirnya yang masih menganga…
*
“Sudah
pulang nak?”
“Sudah bu”
“Lg apa di dapur nak?”
“Lagi
buat roti pake meses”
“Sini nak, ibu buatin” wanita berdaster
batik menghampirinya
“Ga usah bu, aryo bisa sendiri”
“Udaah..,
ibu bisa ko buatin roti meses yang enak” tangannya mengambil pisau roti
dari genggaman bocah cilik itu
“Ga usah buuuuu” Aryo spontan
mengambil kembali pisau roti dari tangan sang ibu. Sikunya tanpa
sengaja menggeser kotak besar yang berisi roti tawar, kaleng meses,
mentega, dan selai-selai lainya..
PRAAAAAAAANNNGGGG
Beberapa
selai yang berbalut kaca pecah berserakan di lantai, pecahannya
mungkin tidak melukai tubuh keduanya, namun menggores hati wanita yang
bertumpu diatas kursi roda. Melihat buah hatinya berlalu dari
hadapannya. Hatinya menjerit seakan merasa tak berguna.
Pria
kecil itu pun berlari kedalam kamar. Membenamkan wajahnya pada sebuah
bantal yang disirami air mata. Segala rasanya berkecamuk, antara benci
diselingi kewajiban untuk mencintai sosok yang tidak dia kagumi…
SURGA
BERADA DIBAWAH TELAPAK KAKI IBU
Namun bagaimana jika sang Ibu
tidak memiliki sepasang kaki?
Masih adakah Surga pada dirinya?
Batinnya
memekik, sesungguhnya dia sungguh menyesal telah berbuat kasar kepada
wanita yang mengandungnya selama 9 bulan, dimana kini perempuan itu
menumpukan pergerakannya, diatas sebuah kursi roda..…
*
“Assalamualaikum”
“Wa’alaikum
salam” sahut penghuni dari dalam rumah
Ruang tamu itu mungkin
tidak mewah, namun sepasang sofa berwarna hijau tua saking bersandingan
di padu sebuah kursi kayu tunggal yang mengitari meja pendek berisi
minuman berwarna, kue-kue kecil dan gorengan.
Nampaknya usaha toko
kue yang dibangun dari hasil tabungan kedua pasang mantan Pegawai Negri
yang kini telah pension itu cukup untuk menampung seorang anak
perempuan, juga cucu satu-satunya pemilik rumah itu.
“Baru pulang
nak?” sang ibu bertanya disambut dengan tatapan bingung putranya yang
mendapati seorang laki-laki berkacamata diruang tamu. Pembicaraan
antara laki-laki tersebut, ibu dan juga niniknya terlihat serius. Maka
bocah itu memutuskan untuk segera berlalu masuk ke dalam kamar
“Iya
bu, tapi udah janjian main bola sama temen-temen” dan setelah bocah
itu melepas topi merah bertuliskan tut wuri handayani serta berganti
kaos superman yang dibelikan sang ninik di pasar minggu, celana pendek,
bola kini dirangkulnya. Dan tentu dia harus melewati kembali ruangan
yang sedang menerima tamu tak dikenal itu.
“Permisi semuanya,
aryo main bola ya”
“Aryoo…., kemari sebentar nak” wanita berusia
35 tahun ini memanggil dan lelaki kecil itupun menghampirinya
“Kenalin
pak, ini Aryo putra saya. Dialah sumber kekuatan saya”
Bocah berponi
dengan tubuh tidak gemuk tapi juga tidak kurus itu mencium tangan tamu
yang dia rasa sangat asing itu. Sebenarnya hatinya sedikit tergetar
mendengar kata perkenalan yang dilontarkan sang ibu.
“Bu, aryo
udah boleh pergi? Temen-temen semua nunggu diluar bu”
“Iya nak,
hati-hati ya” jawabnya tersenyum
*
Kaki mungilnya
terlihat lincah menggiring bola. Kemampuannya bermain memang tidak
diragukan dan oleh karena itu teman-temannya selalu berbisik setiap
penentuan team dijalankan.
“nanti kamu putih 2 kali, item 3 kali
ya” bisik salah satu bocah
“Ya ayo…HOMPIMPA ALAIUM GAMBREEENNGG”
“yeaaaayyy,
aryo masuk team kitaaa”
Itu mungkin contoh benih kecurangan yang
tumbuh saat dini, kesalahan terletak dibanyaknya tercipta pupuk yang
sangat luar biasa untuk mengembang biakannya.
“Sampe besok ya
temen-temen!!!” seperti biasa, aryo kecil pulang setelah kakinya
memasukan bola kedalam gawang sebanyak beberapa kali. Saat dia bersiap
pulang, sosok laki-laki berkacamata dengan kaos berkerah dan celana
jeans yang sempat mencicipi pisang goreng buatan neneknya tadi di rumah
tampak menunggu di bibir lapangan.
Aryo kecil terus berjalan
acuh seolah-olah dia tidak menyadari keberadaan laki-laki itu.
“ARYOO…”
Saat
namanya disebut, pria berusia 11 tahun ini sadar kalau dia tidak lagi
dapat bersikap “kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu”. Sehingga
anak berkulit sawo matang dengan daging lebih dibagian pipi itu
menoleh. Laki-laki dewasa yang membawa tas ransel berwarna hitampun
segera menghampirinya
“Bisa bicara sebentar Aryo?”
*
“Jadi
kamu tidak dekat dengan ibumu?”
Bocah itu hanya menggeleng sambil
sibuk mengambil cendol-cendol berwarna hijau di dalam gelas transparan
“Apa
kamu pernah merindukan ibumu saat dia jauh?”
Sekarang anak ini
mengangguk sambil mengunyah minuman khas betawi yang dijadikan
“sogokan” agar bocah yang handal bermain bola kaki ini mau diajak
berbicara
“Apa yang kamu harapkan dulu saat kau belum bertemu
ibu?”
“Aku mengharapkan ibu pulang terus nemenin aku ke sekolah
seperti teman-teman yang lain”
“Apa Ibumu pernah datang
kesekolahmu?”
“Pernah dulu, udah lama banget tapi om”
“Kamu
senang?”
Anak itu menaruh gelas yang sudah kosong dibawah kursi
plastic berwarna merah yang didudukinya.
“Engga om, semua
temen-temen di sekolah mengejekku. Katanya aku tidak akan masuk surga
karena ibuku tidak mempunyai kaki”
“Aryo, kau seharusnya bangga
dilahirkan dari rahim wanita sehebat Ibumu” pria yang duduk berhadapan
dengan sang bocah meneruskan ceritanya
*
“Apa yang
membuat anda memutuskan untuk pergi?”
“Karena saat itu saya
menghidupi diri dan anak saya sendirian. Aryo juga sudah mulai
membutuhkan susu formula. Saya merasa harus bertanggung jawab setelah
keluar dari rumah ini karena Ayah saya merasa saya mencoreng nama besar
keluarga dengan hamil diluar nikah. Saya juga harus menghadapi
kenyataan kalau kekasih saya saat itu pergi meninggalkan saya tanpa mau
bertanggung jawab. Pekerjaan apapun pasti saya jalani selama itu
halal. Dari mulai menjadi buruh pabrik hingga kuli cuci semua sudah
saya cicipi. Sampai pada akhirnya tetangga saya mengajak untuk
mendaftar menjadi pekerja di luar negri. Kami dijanjikan gaji yang besar
dan hidup yang layak. Tanpa berpikir panjang, saya tanda tangani surat
perjanjiannya. Dengan menitipkan Aryo pada salah satu tetangga yang
sudah seperti ibu saya sendiri.”
“Apa yang pertama anda rasakan
di sana?”
“Yang pertama saya rasakan rindu sebesar-besarnya pada
anak. Tapi saya harap ini semua untuk kebaikannya juga. Tahun pertama
saya belum mendapatkan siksaan apapun, sampai saat saya dipindahkan
oleh majikan saya ketempat saudaranya. Disanalah saya menghadapi
berbagai macam cobaan. Dari mulai jarangnya mendapat makanan, bekerja
hampir 24 jam untuk mengurusi kebersihan restoran 24 jam nya. Baru
mulailah pukulan-pukulan itu datang saat saya meminta gaji yang menjadi
hak saya. Majikan saya tidak segan memukul saya dengan kayu saat
mereka mabuk. Biasanya mereka akan memukul tulang kering saya bila saya
lambat jika dipanggil. Alhamdulillah aktivis dari Indonesia akhirnya
berhasil membawa saya keluar dari Negri Biadab itu, MALAYSIA”
“Bagaimana
dengan pemberitaan yang cukup besar saat kepulangan anda?”
“Saya
justru sangat berterima kasih kepada media yang akhirnya membuat kedua
orangtua saya menerima kehadiran saya dan Aryo kembali. Karena
bagaimanapun sebenci apapun antara anak dan orangtua, darah nya tetap
mengalir dalam tubuh saya dan begitu pula sebaliknya”
“Apakah
anda menyesal menjadi TKW setelah kehilangan anggota tubuh anda?”
“Tidak,
saya kehilangan anggota tubuh saya, namun saya mendapatkan kembali utuh
anggota keluarga saya”
*
Bocah itu kini menangis,
menyadari bagaimanapun gejolak yang ada dalam dirinya, namun tetap
darahnya merupakan darah perempuan yang mengayuh roda-roda untuk
berjalan. Dia berlari dengan kedua kakinya yang kuat dimana kaki-kaki
itu membuat Aryo Sunaryo menjadi bahan rebutan setiap tim untuk
mencetak gol.
Debu yang beterbangan dari hentakan-hentakan
pelarian tak hiraukannya, seperti dirinya yang tidak menghiraukan lagi
tentang keberadaan surga di telapak kaki ibunya. Jari kecilnya membuka
pintu kamar..
“IBUUUUUU” dan dia menangis dalam pelukan ibunya.
Tempat yang paling nyaman untuk hatinya….
*
“ARYO GA MASUK
SURGA….ARYO GA MASUK SURGA!!”
Suara bocah-bocah yang menambah bising
suasana jam istirahat sekolah SD Negri itu
“Kalian ko ngomongnya
gitu sih!Emang yang masukin orang ke surga kalian?” bela seorang anak
berkepang dua
“Ibu nya Aryo kan ga punya kaki, jadi Aryo ga akan
masuk Surga. Hahhahahahaha”
“Kalian nanti aku laporin Bu Guru
ya!!”
“Udah Chendrawati, diemin aja.” Bocah itu kini tersenyum
“Kalau
Surga kalian ada di telapak kaki ibu, maka surgaku adalah nafas ibuku”