Rabu, 17 Oktober 2018

Cerita Dibalik PILEG 2019


Pemilu tinggal menunggu waktu,tetapi mereka sudah bermunculan. Mereka menempel di atas spanduk di simpang-simpang jalan, di belakang kaca angkot; di banyak media dan tempat lainnya tersebar pamplet yang bergambar setiap calon . Hingar bingar pesta demokrasi tak syak lagi akan berdegung kencang.

Dengan jangka waktu kampanye yang terhitung singkat , rakyat kesulitan mengenal mereka satu per satu. Apalagi kalau mereka adalah orang yang baru muncul, yang sebelumnya tak pernah dekat dengan rakyat, dengan cara apa memperkenalkan diri secara utuh dan penuh? Paling minimum rakyat hanya mengenal nama, visi dan misi, default plan untuk lima tahun ke depan; tanpa tahu bagaimana kesehariannya, apakah ia termasuk orang jujur atau pembohong, apakah ia rajin beribadah atau penuh maksiat, apakah ia sungguh-sungguh ingin menjadi pemimpin untuk mereka atau  ambisi pribadi semata.

Maka, masa kampanye itu dijadikan momentum promosi diri (self-promotion). Berlomba-lomba membangun citra seindah dan semenarik mungkin, untuk menggaet simpati rakyat. Calon yang tak biasa pakai kopiah dan baju koko, tiba-tiba mengenakannya dengan tingkah yang begitu religius. Calon yang biasa tak bicara, secara mendadak menghapal teks pidato yang sudah disiapkan tim, mengucapkannya dengan penuh percaya diri. Kalau bisa, hapalkan satu atau dua hadis Nabi, karena sebagian rakyat ada yang suka dengan calon yang religius. Dan seterusnya.

Begitulah calon-calon memperkenalkan diri mendekati Pemilu. Ibarat barang, mereka harus dibungkus sebaik mungkin supaya terlihat pantas dan cocok menjadi pemimpin. Mereka diiklankan di berbagai media massa, melalu pamplet-pamplet, spanduk, mirip produk pasta gigi atau simcard yang dipajang di tepi jalan raya. Bahkan ada yang spanduknya berdekatan dengan gambar produk minuman. Tapi tentu saja, mereka bukan "barang dagangan".

Kalau saya ibaratkan, rakyat memilih calon yang tak dikenalnya seperti ketika mereka percaya kepada Nabi Muhammad SAW. Apa yang mendorong mereka untuk tetap percaya kepada Nabi padahal belum pernah bertemu? Jawabannya adalah "iman". Menurut Kiekeegard misalnya, iman adalah dimensi yang tak perlu diakal-akali, cukup percaya saja. Walaupun analogi ini tidak sepenuhnya cocok, karena ratusan buku tentang biografi Nabi bisa diakses baik dari dalam atau luar negri. Sehingga tanpa bertatap wajah pun, kita bisa mengenalnya dengan baik melalui catatan sejarah.

Nah, sekarang, apa yang menggerakkan hati rakyat untuk tetap menaruh pilihan pada calon tertentu meskipun tidak mengenalnya dengan baik? Jawabannya agak sedikit berbeda. Pertama, seperti jawaban sebelumnya: barangkali rakyat percaya atau mengimani calon yang dipilih berdasarkan sedikit informasi yang didapat. Ini semacam bermain lotré, mengadu nasib mereka pada satu nama asing. Tetapi mereka sudah melakukan tugasnya sebagai polis (warga negara) yang demokratis. Tinggal calon yang dipilih, akankah menjadi pengkhianat atas kepercayaan yang diberikan, atau menjadi kesatria yang tidak lupa daratan. Alangkah kejam dan kejinya kalau yang terjadi adalah pengkhianatan, rakyat yang nota-bene hidup penuh harapan dihancurkan oleh satu-dua orang yang dipercaya sanggup mengubah mereka. Maka wajar saja kalau sekali waktu ada semacam "aksi massa" yang berkumpul di jalan raya, mereka punya hak untuk menagih janji dan kepercayaan yang diberi.

Kedua, tidak lain dan tidak bukan adalah karena alasan pragmatis alias politik uang. Mereka terpaksa memilih calon tertentu karena sudah mengantongi dua tiga lembar uang, atau satu kantong makanan pokok. Mereka diikat oleh materi yang diberikan, meskipun mungkin tidak ada kesepakatan politik, tapi sebagai manusia tentu ada balas-budi. Meskipun rakyat bisa berkhianat, dengan memilih yang lain meskipun mereka telah menerima banyak materi. Dalam Leviathan Hobbes, kondisi semacam ini termasuk dari kontrak sosial (Social Contract) dimana setiap orang yang terikat kontrak bersama harus patuh pada kesepakatan, baik secara vulgar atau diam-diam.

Kalau yang terjadi seperti itu, kita sedang menjaring angin. Sekuat apa pun kita ingin menangkap satu gelombang angin, selalu ada celah untuk keluar dari genggaman. Kita kesulitan untuk menentukan, menetapkan dan memilih dengan basis nalar yang baik. Sebab segala sesuatu sudah dalam rekayasa yang tak bisa dibendung, ditahan atau ditolak. Tidak mungkin ada tindakan preventif —dimana itu malah menghancurkan demokrasi.