Minggu, 01 Januari 2017

Malam (Tahun) Baru

Momen pergantian tahun kemarin adalah momen dimana saya merasa menjadi makhluk paling menyedihkan di antara makhluk lain yang kala itu ‘menggeliat’ dalam hingar-bingar perayaan. Jujur ini bukanlah suatu malam pergantian tahun yang saya idam-idamkan karena nyatanya saya justru sendirian saat orang-orang membagi kebahagiaan di antara riuh terompet dan teriakan hitungan mundur penyambutan tahun yang baru.
Inilah saya. Bertugas dengan setia meliput acara perayaan tahun baru di salah satu club kenamaan di kota tercinta. Kali ini sendirian karena (sialnya) orang-orang yang biasa setia menemani memiliki perayaan sendiri-sendiri. Jadilah malam itu saya melenggang dengan pasrah meliput acara yang (sepertinya) biasa saja. Mengumpulkan mood ternyata tidak semudah mengatakannya. Bahkan kemeja pink yang saya kenakan yang warnanya dinilai bisa membangkitkan gairah malam itu tidak mampu berbuat banyak untuk membuat saya bahagia. Saya memasuki club dengan langkah putus-putus pas seperti janda kehilangan suami dalam perang. Disambut seorang teman yang memang bekerja di club tersebut saya dituntun ke lantai dua club, berkenalan dengan seorang perempuan yang belakangan saya tahu bernama Muna. Dari lantai dua saya mengitari pandangan ke sekeliling. Sesekali ke blackberry, sesekali ke Muna dan sesekali terbodoh dalam pikiran saya yang melompat ke sana ke mari. 
Malam semakin tinggi, dan akhirnya saya dituntun lagi ke sebuah meja yang telah ada bir dan tentu saja pulpy orange karena saya tidak mau menyambut tahun baru dengan alkohol. Pikiran saya terbang ke rumah dimana keluarga telah membuat acara sendiri dengan meriahnya. Mama dengan semena-mena menyiapkan 20 kilo ikan segar sebagai menyambut datangnya 2017. Saya tahu mama saya suka kalap untuk beberapa hal. 
Dalam riak orang-orang yang larut dalam perayaan saya merindu nenek. Yang sekarang mungkin sedang bahagia bersama suaminya di alam lain. Dalam nyaringnya bunyi terompet saya merindu diri saya yang seharusnya berada di antara orang-orang terkasih. Dalam remang lampu-lampu ungu, biru, hijau, merah dan jingga saya merindu teman-teman saya yang kebetulan merayakan tahun baru di berbagai belahan dunia. Dan di dalam teriakan lima, empat, tiga, dua, satu, saya menitikkan air mata pertama di 2017 dan menyesali betapa club ini bukanlah sebuah tempat yang layak untuk jiwa yang rapuh merayakan tahun baru. Saya menangis dalam diam yang berisik. Dan kekakuan itu pecah saat 'mereka’ yang mungkin mencintai saya menelepon dalam jarak yang bermil-mil. Mengucapkan selamat tahun baru untuk perempuan berbadan kecil yang tak tahu diri ini.
Orang-orang memulai tahun yang baru dalam buaian alkohol yang melenakan. Saya memulai tahun baru dengan keharuan yang menyebalkan. Dan dalam sesak yang tak bisa dinamai ini akhirnya saya memutuskan pulang. Membawa segenggam rindu pada rumah  yang jaraknya hanya 10 menit dari club yang menebar cahaya ungu, hijau, merah, jingga. 
Di perjalanan pulang saya menyadari bahwa meskipun tahun telah berganti, tapi ribuan kenangan yang tertinggal di tahun yang lama akan selalu mengganggu hingga waktu yang tak diprediksi.

Malam tahun baru hampir usai. Tapi saya yakin, kenangan yang berdesakan di hati ini tidak akan pernah selesai.